Hakikat Suatu Perkara Dalam Segala Sisi Kehidupan
Hakikat Suatu Perkara Dalam Segala Sisi Kehidupan
Pengertian Hakikat
Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu, haqiqotan yang berarti kebenaran sedangkan dalam kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah: Yang sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya (Partanto, pius A, M. Dahlan al barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994, Arkola, Surabaya).
Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya, tiada yang lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya.
Hakekat ini akan di akan dicapai seseorang setelah mencapai makrifat yang sebenar-benarnya dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan Allah artinya sinyal kita benar nyambung kepada Allah, sehingga ada diantara kita yang memiliki indra ke 6.
Hakikat Dalam Berbagai Sisi Kehidupan
Mari kita merenungkan sejenak beberapa sisi kehidupan berikut ini. Betapa kita tertuntut untuk memperhatikan hakikat suatu perkara dalam segala sisi kehidupan kita dan tidak tertipu dengan fenomena zahir saja.
Hakikat Kekayaan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Hakikat kekayaan itu bukanlah pada banyaknya harta,namun hakekatnya adalah kekayaan jiwa (qana’ah & ridha)” (HR. Al-Bukhari).
Oleh karena itu hakekat kekayaan adalah kaya hati, qana’ah, dan ridha dengan pembagian rezeki yang diterimanya dari Allah setelah berusaha mencari nafkah dengan usaha yang sewajarnya.
Hakikat kebangkrutan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا : الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لا دِرْهَمَ لَهُ وَلا مَتَاعَ ، فَقَالَ : إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu? Maka mereka ( para Sahabat ) menjawab, ‘orang yang bangkrut di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan, ‘Orang yang bangkrut dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun ia juga datang (membawa dosa berupa) Ia pernah mencela fulan ini, menuduh tanpa bukti terhadap fulan itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka (tebusannya) diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dizaliminya sementara belum semua kezalimannya tertebus, diambillah dosa yang dimiliki oleh orang yang dizaliminya lalu ditimpakan kepadanya kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka’” (HR. Muslim).
Hakikat Tingginya Nilai Infak
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka dua genggam tangan atau segenggam tangan (makanan kurma atau gandum dll-pent)” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Jika kita memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu kita infakkan, maka nilainya tidak akan menyamai infaq sahabat dua genggam tangan atau segenggam tangan kurma misalnya. Hal itu karena keutamaan para Sahabat disertai dengan keikhlasan mereka yang lebih dan niat yang benar.
Padahal zahirnya emas sebesar gunung Uhud jauh lebih banyak dibandingkan dua genggam tangan atau segenggam tangan kurma, namun ketika hakekat kualitas amal infak kurma jauh melebihi infak emas tersebut, maka yang jadi patokan penilaian adalah hakikatnya.
Hakikat Kemenangan Peperangan
Fenomena perang Hunain, sebagian kaum muslimin merasa kagum terhadap banyaknya jumlah pasukan, namun ternyata tidak bermanfaat sedikit pun jumlah mereka tersebut, hingga kaum muslimin mengalami kekalahan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ [التوبة : 25]
“Sesungguhnya Allah telah menolong kalian (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kalian menjadi kagum karena banyaknya jumlah (kalian), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kalian kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai.”
Pelajaran dari Perang Hunain
Bahwa hakikat kemenangan adalah bukan terletak pada jumlah pasukan yang banyak, namun ada pada pertolongan Allah dan seseorang terancam tidak mendapatkan pertolongan Allah jika ada kotoran hati, di antaranya ‘ujub/kagum.
Hakikat dalam masalah berkeluarga
Ajaran Islam adalah pria pemimpin bagi wanita. Allah Ta’ala berfirman
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”. ( QS. An Nisa : 34 )
namun bisa jadi kenyataannya terbalik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Maka seorang laki-laki yang terpikat hatinya dengan istrinya-kendati istri tersebut halal baginya-, namun hatinya ternyata menjadi tawanan istrinya, sang istri pun menguasai dan mengaturnya sesuai dengan kemauannya, padahal zahirnya laki-laki itu pemimpinnya karena memang ia statusnya sebagai suami atau tuannya, namun hakikatnya ia tawanan dan budak istrinya” (Al-Ubudiyyah, syaikhul Islam rahimahullah).
Hakikat dalam masalah Ibadah
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Bisa jadi orang yang shalat malam, namun hanya mendapatkan begadang saja (tidak dapat pahala). (Ingatlah) berapa banyak orang yang shalat malam namun tidak dirahmati (oleh Allah), sedangkan yang tidur justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang ke-2 memang zahirnya (nampaknya) tidur, namun hatinya ingat Allah (bertakwa), adapun orang yang pertama memang zahirnya shalat malam, namun sayangnya hatinya menyimpan maksiat”
Beliau juga berkata, “(Ingatlah) berapa banyak orang yang lisannya istighfar, namun dibenci (oleh Allah), sedangkan orang yang lisannya diam malah justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang lisannya istighfar hatinya menyimpan maksiat, adapun orang yang lisannya diam hatinya ingat Allah (bertakwa)”. (Lathoiful Ma’arif, Ibnu Rajab rahimahullah)
Penutup
Terakhir, marilah kita merenungi bahwa siapa pun di antara kita, apapun kedudukan dan jabatan kita, apapun profesi kita tua atau mudakah kita, mari masing-masing kita intropeksi diri. Sudahkah dalam setiap aktivitas dan program-program kita dikembalikan kepada prinsip ikhlas dan mutaba’ah di atas manhajus salaf (cara beragama sahabat nabi), meneropong hakikat dan tidak tertipu dan terjebak dengan target-target serta prestasi-prestasi zahir semata?
نسأل الله –عز وجل– أن يوفقنا وإياكم لما يحبه و يرضاه و أن يجعلنا وإياكم هداة مهتدين إنه ولي ذلك والقادر عليه
Penulis: Ustadz Sa’id Abu ‘Ukkasyah
sumber : https://muslim.or.id/23846-jangan-tertipu-dengan-penampilan-lahiriyah.html
Posting Komentar untuk "Hakikat Suatu Perkara Dalam Segala Sisi Kehidupan"