Sejarah Sidroh Muntaha atau Pohon Bidara dan Larangan Menebangnya
Sejarah Sidroh Muntaha atau Pohon Bidara dan Larangan Menebangnya
Asal Kata dan Makna
Sidroh Muntaha berasa dari 2 kata yaitu : Sidroh dan Muntaha.. Sidroh artinya pohon bidara.
Muntaha artinya tempat berkesudahan (puncak ketinggian). Sidrotul muntaha berarti pohon bidara tempat berkesudahan (pohon bidara sebagai puncak ketinggian langit ke tujuh).
Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya. Sidrotul muntaha digambarkan sebagai pohon bidara yang sangat besar, tumbuh mulai langit keenam hingga langit ke tujuh, yang menandai akhir langit ke tujuh, sebuah batas dimana makhluq tidak dapat melewatinya.
Ciri Pohon Sidroh Muntaha atau Bidara
Memilik daun selebar telinga gajah dan buah-buahannya sebesar tempayan besar. Keunikannya lagi pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluq ciptaan Allah. Sidrotul muntahā adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah ‘Arsy Allah
Pohon Bidara di Surga
Dalam firman Allah berbunyi “Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri.” {Q.S. al Waqi’ah (56): 27-28}
Dzat Anwath adalah Pohon Bidara
Dalam sebuah riwayat disebutkan : Abu Waqid al Laitsi (al Harits bin ‘Auf – wafat th. 68 H) berkata,”Kami pergi keluar bersama Rosuluullah Shollalloohu' 'Alaihi Wa sallam menuju Hunain. Waktu itu kami baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam). Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara disebut Dzat Anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu.
Tatkala kami melewati sebatang pohon bidara, kamipun berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzat Anwath sebagaimana mereka mempunyai Dzat Anwath.’ Maka Rosulullah Shollallaahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, "Allah Akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian). Demi Allah yang diriku hanya berada di tangan-NYA, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Isroil kepada Musa, “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan.” Musa menjawab, “Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti.” (Q.S. al A’roof (7): 138). Kamu benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu."
{H.R. at Tirmidzi 2180, an Nasa-i – Al Kubro 11185, Ahmad 5/218, Ibnu Hibban 6720, Abu Ya’la 1441, Ibnu Abi Syaibah 15/101, ath Thobroni – Al Kabir 3290, shohih}
Mengapa Dilarang Menebang Pohon Bidara
Syaikh Salim bin 'Ied al Hilali, dalam kitab al Manaahisy Syar'iyyah fii Shohiihis Sunnah an Nabawiyyah (Ensiklopedi Larangan menurut al Qur-an dan as Sunnah - Pustaka Imam as-Syafi'i, 2006, hlm. 3/308-309) berkata:
Rosulullah Shollallaahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, "Sesungguhnya orang yang menebang pohon bidara akan dituang api neraka di kepalanya."
{H.R. al Baihaqi 4/117, dari ‘Aisyah Rodhiyallaahu ‘Anhuma, shohih}
Rosulullah Shollallaahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, “Allah akan menuangkan (air panas) ke atas kepala penebang pohon bidara di dalam Neraka."
{H.R. al Baihaqi 6/141, Mu’awiyah bin Haidah Rodhiyallaahu ‘Anhu)
Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Dilarangnya Menebang Pohon Bidara
1. Harom hukumnya menebang pohon bidara.
2. Para ‘Ulama berselisih pendapat tentang larangan menebang pohon bidara kepada beberapa pendapat:
1. Abu Dawud berkata, "Hadits ini cukup ringkas. Artinya barangsiapa menebang pohon bidara yang tumbuh di padang pasir tempat berteduh para musafir dan hewan ternak, tanpa ada kemaslahatan sedikitpun maka ALLOH akan menuangkan air panas ke atas kepalanya di Neraka nanti."
2. Ath Thohawi berpendapat, "Bahwa hadits ini mansukh, sebab Urwah bin az Zubair salah seorang perawi hadits ini pernah menebang pohon bidara untuk diolah menjadi beberapa pintu." (lihat Musykilul Aatsaar (VII/427))
Diriwayatkan dari Hasan bin Ibrohim, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Hisyam bin Urwah tentang hukum menebang pohon bidara. Pada saati itu ia sedang bersandar pada kayu milik Urwah dan berkata, 'Tidakkah engkau perhatikan pintu-pintu dan kusen-kusen ini?' Pintu dan kusen ini terbuat dari pohon bidara milik Urwah. Dahulu Urwah menebang pohon tersebut yang tumbuh di tanahnya dan berkata, 'Tidak mengapa menebang pohon bidara'."{H.R. Abu Dawud (5241)}
Ath Thohawi berkata, "Urwah seorang yang jujur dan memiliki ilmu yang dalam tidak mungkin meninggalkan hadits yang ia ketahui shohih dari Nabi ShollaLLOOHU ‘Alaihi Wa sallam, kemudian meng’amalkan sesuatu yang bertentangan dengan hadits tersebut, kecuali jika memang demikian hukumnya. Jadi jelaslah apa yang kita sebutkan tadi bahwa hadits ini sudah dimansukhkan."
3. Maka larangan tersebut adalah pohon bidara yang tumbuh di tanah harom. Pendapat ini dipegang oleh as Suyuthi dalam kitab Raf'ul Khudr'an Qat'is Sidr (II/57). Ia berkata, "Menurutku makna yang terkuat adalah larangan menebang pohon sidr yang ada di tanah harom sebagaimana yang tercantum dalam riwayat ath Thobroni."
Syaikh kami (Muhammad Nashiruddin al Albani) menyetujui pendapat as Suyuthi tersebut di dalam kitabnya Silsilah al Ahaadits ash Shohiihah (II/177).
Saya katakan, "Dalam riwayat ath Thobroni di dalam al Ausath (2441) pada hadits ‘Abdulloh bin Hubasyi, 'Yakni pohon bidara yang tumbuh di tanah haram.' Tambahan ini dishohihkan oleh syaikh kami dalam Silsilah al Ahaadits ash Shohiihah (614).
Oleh karena itu mengartikan hadits seperti yang tercantum dalam riwayat tambahan tersebut lebih dikedepankan. Adapun pernyataan mansukh adalah pernyataan yang keliru. Sebab yang dijadikan hujjah adalah hadits yang diriwayatkan Urwah bukan pendapat atau hasil ijtihadnya.
Kemudian dianalogikan dengan pohon bidara yang tumbuh di padang pasir tempat berteduhnya para musafir dan binatang ternak, ALLOHU A'lam."
Posting Komentar untuk "Sejarah Sidroh Muntaha atau Pohon Bidara dan Larangan Menebangnya"