Pelajaran Abu Yazid Al-Bisthami Dengan Seekor Anjing
Tersebutlah seorang sufi besar bernama Abu Yazid Al-Bisthami. Dia hidup pada abad pertengahan di Irak. Dia dikelilingi oleh sekian banyak muridnya yang sangat mengaguminya. Ke mana pun pergi, murid-muridnya itu selalu mengawal.
Pada suatu hari, Abu Yazid Al-Bisthami sedang menempuh perjalanan dengan serombongan murid setianya. Dia mengenakan jubah kebesaran seorang sufi, dan penampilan itu menjadi tampak demikian kharismatik sekaligus penuh karakter. Pada satu titik, guru besar sufi dan murid-muridnya itu sampai pada sebuah jembatan kecil. Disebut kecil karena jembatan itu tidak muat dipakai bersimpangan. Kalau dari satu arah sudah ada yang lewat, maka yang dari arah berlawanan harus menunggu sampai penyeberang itu melintasi jembatan.
Demikianlah, Abu Yazid melintasi jembatang kecil itu dan dia berada paling depan. Murid-muridnya berbaris membuntuti, mengular ke belakang. Rombongan itu sudah berhasil melintasi dua per tiga jembatan, yang berarti sisanya tinggal sepertiga lagi. Tepat pada saat itu, dari arah berlawanan muncul seekor anjing kurus yang dekil dan kotor.
Dengan santai anjing itu melangkah tanpa peduli di depannya ada rombongan seorang guru sufi. Seakan ada kekuatan gaib yang memaksanya, Abu Yazid Al-Bisthami langsung menghentikan langkahnya. Sekilas dia menatap muka anjing itu, tapi kemudian menunduk seolah-olah kedua mata binatang itu memancarkan sinar yang mahatajam. Nyali Sang Sufi menjadi menciut, dan serta merta dia member aba-aba kepada semua muridnya. “Ayo cepat kita putar badan dan berjalan kembali! Beri jalan anjing itu agar dia menyeberang lebih dulu!” seru Abu Yazid, lantang. Serentak semua balik badan dan kembali berjalan ke tepian yang tadi. Dan ajing itu pun dengan lelausa melintasi jembatan.
Ketika anjing itu berlalu di depan Abu Yazid, tokoh sufi itu tak berani menatap mata binatang tersebut. Dan murid-muridnya hanya mendelong keheranan kenapa maha guru mereka ketakutan sedimikian rupa hanya terhadap anjing bulukan. “Wahai, Sang Guru!” kata salah seorang muridnya yang tidak tahan menyaksikan perilaku gurunya itu. “Kita sudah berjalan tiga perempat jembatan, tapi kenapa Sang Guru mengalah dan harus mundur demi seekor anjing kotor itu?” “Kalian tidak mendengar apa yang diucapkan anjing itu kepadaku. Tapi aku mendengar.
Andai kalian ikut mendengar, tentu kalian akan mengkeret,” jawab Abu Yazid. Murid-murid itu terbengong, tak mampu berkata apa-apa. Lalu Abu Yazid pun melanjutkan, “Begitu menatapku tadi, anjing itu bertanya kepadaku: ‘Hai, Yazid! Apa jasamu sehingga engkau dilahirkan dengan jubah kebesaran seorang sufi yang dihormati banyak orang? Dan apa dosaku sehingga harus terlahir sebagai seekor anjing yang dinistakan semua orang?’
Demi Allah aku mengkeret mendengar ucapan anjing itu!” Benarkah anjing tadi berkata seperti yang diungkap oleh Abu Yazid? Tentu saja tidak! Apa yang disimpulkan oleh Abu Yazid itu adalah hasil dari buah pikirannya di dalam merefleksikan kenyataan saat dia berhadapan dengan seekor anjing di tengah jembatan yang sempit. Kemudian apa yang bisa kita petik dari hasil refleksi pemikiran Guru Besar Sufi itu?
Jawabannya ada di dalam hati kita masing-masing. Coba bayangkan seandainya Anda yang pada suatu hari mengalami hal yang sama. Apakah kita sempat merefleksikan kenyataan tersebut dan kemudian mengalah hanya pada seekor anjing? Apakah Anda sempat berpikir: apa jasa kita sehingga Anda tampil dengan jubah presiden, jubah anggota dewan yang terrhormat, jubah menteri, jubah konglomerat, jubah intelektual, dan seterusnya?
Maka kita tak bisa berkata lain kecuali bahwa Abu Yazid Al-Bisthami adalah contoh seorang yang sudah sanggup menaklukkan keangkuhan dan kesombongannya sendiri, walau terhadap seekor anjing kotor sekalipun. Lalu pertanyaannya: Kapan kita akan mampu seperti dia?
Sumber : penulis Najib Kertapati Z.
Posting Komentar untuk "Pelajaran Abu Yazid Al-Bisthami Dengan Seekor Anjing"