*6
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Potret Buram Pendidikan di Indonesia

Inilah Potret buram pendidikan di Indonesia, Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme serta produk yang sulit diandalkan kualitasnya.

Menilik arti Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Dalam proses belajar-mengajar di sekolah, sebagai tenaga pendidik, guru harus menguasai kurikulum tempat ia mengajar, harus menguasai mata pelajaran yang ia ajarkan.Guru juga harus menguasai teknik evaluasi, sehingga dengan mudah dapat mengevaluasi apakah bahan pelajaran yang diajarkan telah dikuasai murid atau belum. Dengan komitmen yang tinggi seorang guru akan mencintai tugasnya sebagai guru dan tenaga pendidik. Selain itu guru-pun harus memiliki disiplin yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.

 Pendidikan di Indonesia selalu menjalankan perubahan kurikulum yang terus-menerus, yang kadang kita  tidak mengerti apa maksudnya. Uji formula yang katanya lebih oke, tepat sasaran, dan sebagainya, hanya menjadi media tabungan gendut bagi para pelaku pendidikan. aliran dana BOS serta tunjangan tetek bengek dari pemerintah menjadi kran arus uang mengalir pada oknum yang tidak bertanggung jawab.

( Baca juga : Buku Era 80an Jaman si Budi )
Cerita buram pendidikan di Indonesia tidak hanya sampai disitu. masih banyak para wali murid kembang kempis di repotkan oleh tunjangan sana-sini yang tidak jelas tujuanya. Mulai dari biaya pendaftaran masuk sekolah ( khususnya sekolah negeri yg katanya gratis tapi lulus lewat jalur belakang / pake duit ), buku pelajaran serta biaya praktikum dan ekstrakulikuler lainnya, yang ujung - ujungnya duit ( UUD ). Slogan Gratis-pun cuma lips service. Ini semua patut dipertanyakan, apanya yang gratis.

Miris sekali kejadian yang dialami anak-anak berotak cerdas dari keluarga miskin, tidak bisa menikmati sekolahnya para anak orang  kaya yang di buai dengan tunjangan fasilitas pendidikan berbasis internasional atau apalah namanya. Anak miskin harus mengenyam penddikan yang minim kualitas dan miskin fasilitas. Belum lagi hanya dibekali dengan tenaga pengajar yang seadanya, istilahah kerenya " yang penting gajian lancar ".   Padahal dalam UDD 1945 telah disebutkan bahwa ' setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan'. Namun keyataannya, banyak anak orang kaya hanya mendompleng nama orang tua demi karir dan jabatan tapi minim kepudulian lingkungan sosial meski dibekali fasilitas lengkap, banyak anak miskin harus berjuang keras mendapat tempat berkelas dengan kecerdasan di atas rata-rata dan idealisme, nasionalisme tinggi tapi tak mendapat yang karir yang layak karena tergesarkan oleh materi. Banyak tenaga pengajar tapi tidak bisa menjadi tenaga pendidik. Betapa banyak orang pintar tapi hanya sedikit menjadi panutan. ( Baca juga : Petuah Bijak Jaman Dulu )

Inilah potret pendidikan di Indonesia,Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral. ( baca juga : Sukses Tak Di Tentukan Oleh Ijazah )

Kenapa hal itu terjadi? Tak lain tak bukan karena kurang pelatihan skill, kurangnya pembinaan terhadap kurikulum baru, dan kurangnya gaji. Masih banyak guru honorer yang kembang kempis ngurusin asap dapur rumahnya agar terus menyala. Guru, digugu dan ditiru. Masihkah? atau hanya slogan klise yang sudah kuno. Murid saja sedikit yang menghargai gurunya. banyak yang memandang rendah terhadap guru, sehingga orang pun tidak termotivasi menjadi guru. Padahal, tanpa guru tidak ada yang namanya insinyur, profesor dan presiden. ( edisi revisi )

Posting Komentar untuk "Potret Buram Pendidikan di Indonesia"