*6
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Trend Sekolah di Indonesia Berbasis Bisnis Not Educative-Comprehensive-Kompetensi


Hari gini ngga' ada yang Free atau Gratis, apa-apa pakai duit, semuanya butuh duit. Pada artikel sebelumnya tentang Potret buram pendidikan di Indonesia, kembali saya mengangkat topik yang sama, maklum saja setiap tahun ajaran baru, para orang tua disibukan mengurus biaya pendidikan sekolah untuk buah hatinya.

Jika anak sudah memasuki bangku sekolah, otomatis jenjang pendidikan terus meningkat, tidak bisa di stop atau jeda untuk berapa bulan atau tahun kemudian, sebab pendidikan di sekolah memang wajib di ikuti, selain menghindari dari kebodohan dan buta aksara juga sebagai tempat proses belajar pendidikan kedua bagi anak setelah keluarga.

Banyak sekolah yang menawarkan kurikulum berbasis kompetensi, ada juga dengan iming-iming sekolah bertaraf internasional dengan seabrek aktifitas dan full fasilitas yang mungkin hanya dinikmati kaum berduit. Lalu bagaimana dengan sekolah negeri, masihkah minim kualitas? Tidak juga, sekolah negeri-pun sudah mengikuti perkembangan jaman yang tidak mau kalah dengan sekolah swasta lainnya. Lalu bagaimana dengan sekolah yang berlokasi di pedesaan? Apaka masih jauh tertinggal dari sekolah dikota besar?

Untuk mengeyam pendidikan di sekolah unggulan atau pavorit memang tidak mudah. Selain persaingan makin ketat, mulai dari nilai ijazah juga harus bersaing dengan jatah anak-anak dari keluarga guru disekolah tersebut. Biaya yang dikeluarkan pun juga menguras kantong. Termasuk sekolah negeri. Lalu biaya apa saja yang harus dipersiapkan orang tua wali murid

Berikut ini beberapa biaya pendidikan :

1. Biaya pendaftaran dan Test
Untuk menikmati pendidikan disekolah memang butuh biaya, bahkan di sekolah negeri-pun tidak ada yang gratis. Ihwal pemerintah mengalokasikan APBN untuk pendidikan gratis, sekedar wacana belaka, kenyataan dilapangan tidak begitu. Sebelum memasuki jenjang sekolah SD, SMP, SMA, dsb, calon siswa diharuskan membeli dan mengisi formulir pendaftaran untuk mengikuti sejumlah tes tertulis dengan melampirkan beberapa dokumen persyaratan lainnya. Jika lulus, maka siswa tersebut mendapat porsi pada sekolah yang dituju, jika tidak lulus, maka malang melintanglah orang tua mencari sekolah lainnya supaya anaknya bisa sekolah atau juga mencari alternatif lain "melalui pintu belakang atau jalur khusus" (sogok-menyogok).

Kasus semacam ini sudah lama terjadi, bahkan ada beberapa pihak sekolah yang mendapat sanksi akibat pengaduan masyarakat, dan sidak dari dinas pendidikan, namun gaya sogok menyogok dan KKN semakin berkembang. Tidak sedikit jumlah uang yang ditawarkan, biasanya pihak sekolah sudah menerapkan berapa biaya sogok, besar kecilnya tergantung darimana asal sekolah tersebut dan dimana dia tinggal juga berapa hasil nilai angka test masuk tersebut. Namanya juga lewat pintu belakang, jadi tidak ada bukti tertulis semacam nota pembayaran, yang hanya tahu adalah antara guru dan wali murid bersangkutan.

2. Biaya Pembangunan dan Buku Penuntun
Sekolah swasta menerapkan biaya pembangunan dan buku penuntun ini, namun ada juga sekolah negeri mengambil-bagian ini hanya saja tidak terang-terangan atau dengan kata lain biaya tersebut dialokasikan untuk biaya-biaya lainnya. Kurikulum pendidikan yang hampir tiap tahunnya mengalami perubahan, berdampak pada buku penuntut pendidikan siswa disekolah yang tidak lagi seragam. Lebih miris lagi, setiap wali kelas menerapkan buku penuntun yang berbeda-beda meskipun masih dalam jenjang tingkat yang sama, ada juga buku penuntunya sama tapi biaya beli buku berbeda dari pihak wali kelas. Lagi-lagi pendidikan dijadikan ladang bisnis.

3. Biaya Pakaian Seragam
Setiap sekolah mencari ciri khas untuk pakaian seragam, terutama jenis seragam baju batik yang memang sudah dibudayakan disekolah dan juga seragam baju olahraga. Beberapa seragam tertentu diharuskan beli dari sekolah. Berapakah biaya yang harus dikeluarkan?, tentunya tiap sekolah memiliki aturan main tersendiri. Pakaian seragam putih merah atau putih biru dan putih abu-abu, serta seragam pramuka, sudah sangat jarang dipakai dan dijadikan identitas siswa seperti jaman pendidikan orde lama. Belum lagi seragam topi, dasi dan kaos kaki merk sekolah yang harus dibeli dari sekolah. Bisa dibilang " mau sekolah atau mau bisnis atau mau gaya-gaya-an".Sangat beda jauh dengan pendidikan jaman sibudi

4. Biaya-biaya lainnya
Sejumlah sekolah menarik dana untuk biaya praktikum, laboratorium,perpustakaan dan ektrakulikuler. Mungkin inilah yang dimaksud dengan fasilitas penunjang pendidikan siswa. Sedangkan biaya lainnya, siswa diminta iuran untuk dana sosial.

Dan masih banyak biaya lainya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Uang sekolah memang mahal harganya, akan tetapi berapapun biaya yang dikeluarkan harusnya ditunjang dengan mutu pendidikan dan kualitas para gurunya, yang tidak hanya bisa mengajar tapi juga harus bisa mendidik. Para orang tua menitipkan anaknya disekolah dengan harapan anaknya menjadi manusia yang bermoral dan beriman, pintar dan cerdas, serta bermanfaat untuk orang banyak. 

Mutu atau kualitas sekolah bukan sekedar dilihat dari penghargaan juara lomba busana, lomba drumband, lomba gerak jalan,lomba nyanyi, lomba menggambar, tetapi menjadikan siswa beradab, cerdas dan mandiri dalam mengikuti ujian disekolah tanpa bocoran soal, bukan sekedar mendapat ijazah serta tanpa bantuan guru yang membantu meluluskan siswanya guna menjaga nama baik sekolah 

2 komentar untuk "Trend Sekolah di Indonesia Berbasis Bisnis Not Educative-Comprehensive-Kompetensi"

  1. Jadi ingat mamah dirumah hehe, betapa besar pengorbanan seorang ibu ataupun bapak. Semoga Saya bisa berbakti dan dapat serta membanggakan mereka Amin..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin...ya..kasih ortu tak berbatas. Apa yg qt tanam itulah yg qt petik.Bagaimana perlakuan qt thdp ortu, begitulah nantinya perlakuan anak kita thdp dr qt..trims atas kunjungannya

      Hapus