*6
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Kelam Dari Wajah Pinggiran Kota

Menyusuri denyut jantung kota Jakarta seringkali menjadi pilihan lain ketika ada waktu luang. Bangunan-bangunan tinggi angkuh nan kokoh yang hampir mencapai langit, hiruk pikuk manusia bergeliat tak kenal waktu, entah itu dari tempat hiburan nan berkelas atau juga jajanan murah pinggiran jalan, semuanya berkejaran dalam bising kota Jakarta yang tidak pernah mati. Yach..Jakarta selalu menggoda wajah-wajah untuk bertahan hidup atau sekedar pilihan utama tempat bersenang-senang, itupun bagi mereka yang punya duit. 

Perjalananpun terhenti ketika menyaksikan wajah-wajah resah dan menghiba dari pusat dan pinggiran kota, wajah-wajah yang menyimpan keresahan. Pemandangan kontradiktif dibalik gedung bertingkat dan kawasan perumahan mewah, berdiri sejumlah rumah gubuk yang hampir terlindas oleh tembok pagar pembatas kawasan berkelas. Mereka bukan kaum pendatang, bukan pula penumpang tanah, mereka adalah orang asli pribumi  yang sudah bercokol lama, hidup dari tanah nenek moyang namun harus menjadi orang-orang terpinggir hidup dipinggiran kota.

Gambar buram sisi ibukota lainnya, ketika wajah-wajah letih harus menumpang tidur di emperan gedung, sambil menahan lapar. Tak peduli orang berlalu lalang, tak hirau kiri kanan yang sedang menikmati santap malam di restoran berbintang lima, mereka tidak perduli karena memang tidak ada yang peduli terhadap mereka, yang mereka peduli hanyalah bisa menyambung nyawa di esok hari sekalipun dengan mengais sisa makanan atau menjadi pengemis dan pemulung yang harus siap diusir satuan keamanan pemerintahan. Sungguh pemandangan yang mengharukan, orang-orang yang mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran, diskriminasi atau eksploitasi di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota. 

Sunggu siapapun tidak pernah bercita-cita menjadi kaum terpinggir dan hidup dalam kelemahan status sosial, mereka hanya ingin diterima sebagai pemilik ibu pertiwi meskipun mereka tahu, harga diri mereka dianggap seperti sampah, yang kurang sedap dipandang, ketimbang sekelompok orang luar yang hidup necis tapi penjajah dan penjual hasil bumi. Mereka tidak lagi peduli dengan obrolan siang pemerintah yang berjanji mengentaskan kemiskinan, atau orang-orang pintar ngomong ditelevisi yang katanya peduli rakyat miskin, bahkan ketika sejumlah demo mahasiswa dengan dalih membela orang-orang miskin, sudah dianggap pepesan kosong belaka. 

Sebuah cerita kelam dari pinggiran kota menjadi catatan pelajaran berharga di sore itu . Mereka adalah orang-orang yang menghargai kebaikan dan tidak berkeberatan dengan kekurangan, mereka yang selalu memaafkan dan tak pernah membuat kecil meski dunia tidak lagi indah dan bersahabat. Andai semua tahu, kehadiran mereka menjadi media untuk mengetuk pintu hati kita, dibalik wajah gelisah itu bukan sekedar mengharap belas kasih, tapi mereka hanya ingin dianggap ada meski dalam ketiadaberdayaan. Siapa yang tahu, dibalik penampilah lusuh itu bisa jadi mereka lebih berharga di mata Tuhan meski tanpa harta. 

Ach, teringat kembali lirik lagu Balada Sejuta Wajah dari musisi ternama Ahmad Albar : Sejuta janjimu kota, Menggoda wajah-wajah resah, Ada di sini dan ada di sana, Menunggu di dalam tanya, Menunggu di dalam tanya. Mengapa semua berkejaran dalam bising, Mengapa oh mengapa, Sejuta wajah engkau libatkan, Dalam himpitan kegelisahan, Apakah hari esok makmur sentosa, Bagi wajah-wajah yang menghiba

catatan dari pinggir jalan, suatu hari di  Jakarta 2013 ( revisi )

Posting Komentar untuk "Cerita Kelam Dari Wajah Pinggiran Kota"