*6
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi : Ilmuan Muslim dan Imam Besar Masjidil Haram dari Padang


Ahmad Khatib Al-Minangkabawi :  Ilmuan Muslim dan Imam Besar Masjidil Haram dari Padang

Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi Rahimahullah, beliau bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin ‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Khathib Al-Minangkabawi Al-Jawi Al-Makki Asy-Syafi’i Al-Atsari rahimahullah. Beliau adalah seorang ulama Indonesia asal Minangkabau. Ia lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 06 Zulhijjah 1276 H (1860 M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadil awal 1334 H (1916 M).

Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al -Khatib dilahirkan di Koto Tuo, kenagarian Balai Gurah, Kec. Ampek Angkek Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatra Barat pada hari Senin 06 Dzul Hijjah 1276 H, bertepatan dengan 26 Mei 1860 M. Ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama 'Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang. Abdullah, kakek Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.

Beliau menjabat sebagai imam mazhab Syafii di Masjidil Haram. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar darinya, termasuk K.H Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan K.H Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Dan melalui murid-muridnya di Minangkabau yang belajar di Mekkah serta ada juga yang beliau ajarkan di Indonesia. Beliau mendorong agar budaya Minangkabau dimodifikasi berdasarkan Al-Qur'an dan Sunah.

Saat Pertama di Tanah Kelahiran Nabi saw dan Berbaurnya dengan Keilmuan

Awal berada di Mekkah, beliau berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Usai melaksanakan haji, beliau lalu menimba ilmu di maktab milik Syekh Abdul Hadi, seorang syekh asal Inggris.

Banyak sekali murid Syaikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka, Syaikh Muhammad Jamil Jambek (Bukittinggi), Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli (Candung, Bukittinggi), Syaikh Muhammad Jamil Jaho (Padang Panjang), Syaikh Abbas Qadhi (Ladang Laweh Bukittinggi), Syaikh Abbas Abdullah (Padang Japang Suliki), Syaikh Khatib Ali (Padang), Syaikh Ibrahim Musa (Parabek), Syaikh Mustafa Husein (Purba Baru, Mandailing), dan Syaikh Hasan Maksum (Medan). Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang keduanya merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah.

Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuwan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

Riwayat Pendidikan

Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweekschool dan tamat pada tahun 1871 M. Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al-Qur'an dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, Abdul Lathif, ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdul Lathif kembali ke Sumatra Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur'annya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjidil Haram.

Semangatnya dalam Thalabul 'Ilmi

Mengenai bagaimana semangat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam thalabul ‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39, “…Ia adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam berbagai disiplin ilmu.

Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti matematika (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), ilmu-ilmu kehidupan, pembagian waris dan ilmu miqat (ilmu falak) serta keilmuan lainnya, maka beliau dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (secara otodidak).”

Selain mempelajari ilmu Islam, salah satu alasan Ahmad gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendukung ilmu agamanya, seperti ilmu pasti adalah dalam rangka memudahkan membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris agar memudahkan berkomunikasi dan berinteraksi, semua dipelajari sampai betul-betul kokoh.

Keluarga / Pernikahan

Di antara kebiasaan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di Mekkah adalah membiasakan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al-Kurdi yang terletak di dekat Masjidill Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al-Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.

Ketertarikan Shalih Al-Kurdi terhadap Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan dijadikannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu. Setelah banyak mengetahui tentang perihal dan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia itu, Shalih Al-Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya, yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah.

Sebenarnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sempat ragu menerima tawaran dari Al-Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikitpun hal itu mengurangi niat besar dari Al-Kurdi untuk menjadikannya menantu. Bahkan Al-Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan terjadi.

Tentang pengambilan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuali setelah belajar di Makkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika datang kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridai, maka nikahkanlah ia.’

Anak-anak

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).

Ternyata pernikahan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.

Shalih Al-Kurdi, sang mertua, meminta Syaikh Ahmad Khatib untuk menikah kembali dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al-Qur'an yang baik. Oleh karena itu, tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:

• ‘Abdul Malik
Beliau adalah Ketua redaksi koran Al- Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al-Hasyimiyyah (Yordania). Beliau belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.

• ‘Abdul Hamid Al Khathib
Seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al-Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan.

Menjadi Imam Besar Masjidil Haram

Kealiman Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan diangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.

Mengenai sebab pengangkatan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang tampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah berkat permintaan Shalih Al-Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib.

Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah salat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai salat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi? Lalu ditunjukkan padanya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al-Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid Al-Haram.

Gagasan dan Ide

Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Selain masalah tersebut, beliau juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan waktu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi serta yang lainnya.

Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah juga pakar dalam geometri dan trigonometri, yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk _Raudat al-Hussab_ dan _Alam al-Hussab_.

Syekh Ahmad Khatib sampai akhir hayatnya tetap bermadzab Syafi'i. Kepeloporannya melahirkan kaum muda tampak jelas dari serangan-serangannya yang keras terhadap hukum adat dan ajaran-ajaran tarekat yang dianggapnya mengotori kemurnian Islam, terutama masalah fiqih dan hukum Islam. Dan menentang adanya tarekat Naqsyabandiyah, pembagian harta, serta ijtihad yang ada di Minangkabau, yang bertentangan dengan ajaran yang ada di al-Qur'an dan sunnah.

Begitulah riwayat sang imam besar Masjidil Haram dari tanah Minang, semoga kita dapat mengikuti jejak langkah beliau dalam kecintaan terhadap Allah Swt, Rasul saw, umat dan keilmuan. 

Posting Komentar untuk "Ahmad Khatib Al-Minangkabawi : Ilmuan Muslim dan Imam Besar Masjidil Haram dari Padang"