*6
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nuansa Puasa Zaman Dulu

Lain dulu lain sekarang, begitupun saat ramadhan tiba, nuansa ritual ibadah telah mengalami pergeseran seiring perjalanan waktu. Dulu, puasa menjadi momentum yang paling ditunggu kedatangannya, keberadaannya disambut suka cita dengan berlomba-lomba meningkatkan amal ibadah bahkan saat taraweh jelang lebaran idul fitri tiba, mesjid masih dipenuhi para jamaah. Mengingatnya kembali, menimbulkan kerinduan yang sangat dalam.

Pengalaman masa kecil di kampung halaman dulu, tidak pernah terdengar perdebatan tentang kapan puasa ramadhan dimulai. Begitu mendengar pengumuman dari radio, para sesepuh desa meminta dua warganya berkeliling kampung dengan membawa tawak - tawak ( sejenis canang, gong kecil ) untuk memberikan informasi kepada warga tentang kapan puasa ramadhan dimulai. Tentu saja tawak-tawak ini sangat dinanti dan disambut gembira.

Jelang sahur tiba, jam 02.00 dini hari, masyarakat desa berlomba-lomba turun dijalan membawa obor, ada juga yang memukul bedug dengan tujuan membangunkan warga untuk bersantap sahur. Ramadhan tidak pernah sepi, tanpa diminta kepala desa, warga berinisiatif membangun suasana ramadhan penuh khikmah dan kekeluargaan. Bahkan, jika ada salah satu warga yang masih tertidur / tidak mendengar kumandang sahur, tetangga kiri kanan datang mengetuk pintu rumah tersebut, dan ini mempererat tali silaturahim sebagai bentuk kepedulian dan kekeluargaan. Jika waktu imsak tiba, hal ini akan ditandai dengan suara bedug dari mesjid.

Mesjid tidak pernah sepi dari wirid, dzikir, pengajian Alquran sejak adzan subuh hingga jelang waktu dzuhur. Tidak tampak warga menjual warung makanan diwaktu siang, semuanya sibuk beraktifitas juga berlomba-lomba khatam Alquran selama bulan ramadhan. Saat jelang berbuka puasa,moment ini sangat dimanfaatkan oleh warga untuk menambah amal ibadah, biasanya masyarakat sibuk berbagi menu buka puasa dengan sanak keluarga, tetangga dan kaum dhuafa.  Jadi tidak ada acara seremonial seperti berbuka bersama, berbagi sembako murah, dan acara sejenisnya yang notabene ingin diliput media. Bahkan saat idul fitri tiba, semua warga kampung bergantian saling mendatangi rumah tetangga, keluarga. Itulah potret ramadhan jaman dulu.

Pemandangan seperti itu makin pudar dan hilang saat ini. Sangat jarang terdengar dan melihat para warga membangunkan warga lain diwaktu sahur, mesjid sepi, kalaupun ada itu hanya suara sayup-sayup dari microphone mesjid. Tidak ada lagi sesama tetangga saling berbagi dan bersilaturahim, bahkan kadang sesama tetangga sebelahpun tidak saling kenal dan sapa. "Napsi - napsi, loe-loe gue-gue ". Suasana saling tidak perduli dengan tetangga bukan hanya terjadi di kota besar, di desa-pun ikut latah mengamininya. 

Sesungguhnya Allah mempertemukan kita dengan ramadhan bukan semata menahan haus dan lapar. Puasa ramadhan bukan sekedar melepaskan kewajiban, tapi lebih dari itu, Allah ingin melihat hambanya untuk terus meningkatkan tali silaturohim dan mempererat rasa kekeluargaan serta saling peduli pada sesama. Pada kenyataannya, kita semua menjauhi hikmah ramadhan, lalu jangan salahkan Allah jika IA terpaksa menurunkan bala' dan bencana dipermukaan bumi. Karena saat peristiwa pedih itu terjadi, mungkin kita semua baru tersadarkan, lalu tumbuh sikap saling peduli, butuh pertolongan tetangga dan orang lain. Semoga Allah mengampuni ke-alphaan kita semua.

Posting Komentar untuk "Nuansa Puasa Zaman Dulu"